Jurnal Faktual News, Ngawi - Kawasan Desa Tirak, Kecamatan Kwadungan, Kabupaten Ngawi tengah menghadapi sorotan serius terkait pelaksanaan seleksi perangkat desa (perades).
Polemik muncul ketika salah satu peserta yang ternyata adalah anak dari Kepala Desa Tirak dan berada dalam status bebas bersyarat dari lembaga pemasyarakatan lolos ujian tertulis dengan nilai tertinggi dan berpotensi dilantik.
Menanggapi gelombang keberatan dari masyarakat, khususnya ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tirak, Komisi I DPRD Ngawi menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPMD Ngawi, Bagian Hukum Pemkab Ngawi, serta pihak Kecamatan Kwadungan, pada Selasa (4/11/2025).
Ketua Komisi I DPRD Ngawi, Anas Hamidi, menegaskan bahwa pihaknya merasa perlu mengambil langkah persuasif agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. “Kami tidak ingin terus ada gejolak,” ujarnya dalam rapat tersebut.
Anas menerangkan bahwa secara umum tidak lazim seorang peserta berstatus tersangka atau terpidana, masih menjalani masa bebas bersyarat diterima dalam proses seleksi perangkat desa.
Namun, ia mengakui bahwa regulasi masih belum secara eksplisit mengatur kondisi seperti itu, sehingga membuka ruang interpretasi yang berbeda antar pihak.
Camat Kwadungan, Didik Hartanto, mengakui bahwa keputusan akhir mengenai rekomendasi untuk pelantikan kini berada di tangan Camat.
“Masih dalam kajian kami, masih ada waktu sekitar tiga hari lagi untuk memberikan rekomendasi. Namun kami akan sangat memperhatikan pesan dari dewan tadi,” katanya.
Dengan kata lain, rekomendasi Camat dapat menentukan apakah hasil seleksi diajukan ke Bupati untuk pelantikan atau dibatalkan.
Sementara itu, Kepala DPMD Ngawi, Budi Santoso, menjelaskan bahwa urusan teknis pelaksanaan ujian sepenuhnya dikelola oleh panitia seleksi.
"Setelah ujian, hasilnya akan dimintakan rekomendasi dari Camat, kami sudah wanti-wanti agar mempertimbangkan banyak aspek,” ungkapnya.
Bagian Hukum Pemkab Ngawi yang diwakili oleh Plt. Kabag Hukum, Suyanto, menegaskan pentingnya penggunaan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) sebagai salah satu syarat peserta. Pihaknya mengkritik pelaksanaan yang tampak hanya sebagai formalitas belaka.
“Tampaknya, SKCK dianggap sebagai dokumen pelengkap berkas saja. Padahal semestinya dilihat isinya, apakah ada catatan melanggar hukum atau tidak atas nama orang bersangkutan, sehingga bisa jadi pertimbangan," jelasnya.
Di tempat yang sama, Anas selaku Ketua Komisi I DPRD Ngawi menyatakan, bahwa Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup) belum secara rinci mengatur kondisi peserta yang masih menjalani masa bebas bersyarat.
"Kondisi tersebut membuka celah tafsir yang dapat memicu ketidakpuasan masyaraka t dan protes hukum," imbuh Anas.
Masyarakat Tirak melalui Aliansi Masyarakat Tirak telah menyampaikan keberatan keras atas proses tersebut, seperti yang telah dilansir banyak media.
Mereka menilai bahwa transparansi, fairness (keadilan), dan akuntabilitas proses seleksi tidak terpenuhi. Gelombang protes muncul, termasuk rencana untuk menempuh jalur hukum jika keputusan panitia tetap dilanjutkan.
Dalam pertemuan RDP, DPRD mengingatkan bahwa keputusan Camat harus didasarkan pada rasa keadilan bagi masyarakat serta potensi konsekuensi apabila pelantikan tetap dilanjutkan.
“Bola sekarang ada di Camat Kwadungan. Kami tadi sudah berpesan agar Camat bisa memberikan keputusan yang bijak dan menjawab rasa keadilan bagi masyarakat serta tidak menimbulkan masalah baru. Walau apapun yang diputuskan Camat nantinya tetap bisa berisiko, kembali diprotes atau digugat,” jelas Ketua Komisi I DPRD.
Bagi pihak panitia seleksi, persoalan muncul sejak awal. Meskipun telah diingatkan oleh Camat agar mempertimbangkan status peserta yang masih bebas bersyarat, panitia tetap meloloskan peserta tersebut dalam ujian dan bahkan ia memperoleh nilai tertinggi dalam seleksi yang digelar pada 26 Oktober lalu. Hasil ujian ini kemudian menunggu rekomendasi dari Camat sebelum disahkan oleh Bupati.
Situasi ini menciptakan dilema bagi semua pihak. Jika Camat memutuskan untuk memberi rekomendasi pelantikan, maka masyarakat menilai proses seleksi tidak adil dan dapat menimbulkan friksi lebih lanjut. Sebaliknya, jika Camat membatalkan atau menghentikan proses tersebut, maka potensi gugatan hukum dari peserta yang lolos juga terbuka.
DPRD dan pihak terkait berharap agar menghasilkan keputusan yang memperhatikan aspek hukum, asas keadilan, dan juga menjaga stabilitas sosial di Desa Tirak. “Masih ada waktu untuk mengambil keputusan yang terbaik,” tutup Didik Hartanto.
Ke depan, persoalan ini dapat menjadi momentum evaluasi regulasi seleksi perangkat desa agar lebih inklusif namun tetap menjaga standar akuntabilitas dan integritas. Masyarakat berharap agar proses seleksi perangkat desa ke depan berlangsung dengan transparan, terbuka, dan bebas dari konflik kepentingan. (Yn)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar