Oleh: Dr.M. Mufti Mubarok
Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Tanah (PUKAT) dan Wakil Ketua BPKN RI
Kantor Pertanahan/Kantah di Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia akan menarik seluruh sertipikat kepemilikan tanah untuk disatukan dalam buku tanah dan kemudian buku tanah akan simpan menjadi warkah di kantor pertanahan. Aturan baru ini tertuang dalam Pasal 16 Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Sertipikat Elektronik.
Bunyi dari Pasal 16 Ayat (3) bahwa Kepala Kantor Pertanahan menarik Sertipikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan. Kemudian Ayat (4) bahwa seluruh warkah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan alih media (scan) dan disimpan pada Pangkalan Data.
Sebagaimana dalam Pasal 16 Ayat (1) dan ayat (2) bahwa pergantian sertipikat menjadi sertipikat-el termasuk pengantian buku tanah, surat ukur/atau gambar denah satuan rumah susun (sarusun) menjadi dokumen elektronik. Penggantian Sertipikat-EL ini dicatat pada buku tanah, surat ukur dan/atau gambar denah sarusun.
Sebuah terobosan pada era digital yang sebenarnya bagus tapi tampaknya BPN belum siap, karena selama ini pelayanan BPN masih semrawut dan terkesan mempersulit serta banyaknya oknum-oknum BPN cenderung memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Selain itu dilapangan banyak ditemukan bahwa sertipikat digunakan sebagai agunan pinjaman oleh masyarakat.
Sertipikat elektronik ini kemungkinan besar akan menimbulkan dampak yang luas dan meresahkan masyarakat. Terobosan Sertipikat elektronik yang akan diberlakukan Kementrian ATR/BPN pada tahun 2021. Untuk itu, kehadiran Permen terkait dengan Sertifikasi Elektronik perlu dipertimbangkan kembali ditengah paradoks pertanahan yang masih over lapping akibat banyaknya mafia tanah.
Untuk sekedar diketahui, rasio ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah saat ini yaitu 0,72 artinya 72 persen tanah di kuasai oleh sekitar 2,5 juta orang saja. Selanjutnya berdasarkan data PUKAT yang diperoleh dari beberapa sumber, 74 persen kepemilikan tanah di Indonesia dikuasi oleh segelintir orang. Artinya pembangunan agrarian belum berhasil, dapat dikatakan belum tercapainya optimalisasi fungsi hak-hak agraria sesuai kepentingan rakyat, bangsa, dan negara dalam konteks perkembangan zaman
Program Sertipikat Elektronik ini perlu memperhatikan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset yang disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia, yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan oleh badan pelaksana reforma agraria dan/atau badan pengelola bank tanah menjadi sebuah langkah strategis untuk melakukan Reformasi Agraria.
Belum selesainya program pemerintah Joko Widodo yang membagikan 125 juta sertipikat di seluruh bidang tanah pada 2025 merupakan langkah awal untuk memecahkan problem utama tersebut. Terdapat sejumlah problem pada pelaksanaan program sertifikasi ini, diantaranya sengketa dan tumpang-tindih kepemilikan lahan.
Masalah lain yang tak kalah pelik dalam program sertifikasi lahan dan reformasi agraria adalah tumpang-tindihnya aturan. Pada saat pemerintahan Jokowi, menurut kajian BPN, terdapat 21 undang-undang, 49 peraturan presiden, 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, 469 peraturan, keputusan, surat edaran, serta instruksi Menteri Negara/Kepala BPN tentang pertanahan yang tidak sinkron.
Selama ini, akibat tidak dijalankannya Reformasi Agraria dan dipetieskannya UUPA telah menyebabkan semakin mendalamnya ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria khususnya tanah, maraknya konflik agraria dan kerusakan lingkungan. Maraknya konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda dari perlu dilaksanakannya Reformasi agraria.
Jadi, Reformasi Agraria yang dimaksudkan oleh pemerintah selain untuk menata ulang struktur kepemilikan, penguasaan sumber-sumber agraria sehingga dapat menjawab ketimpangan agraria selain itu juga untuk menuntaskan konflik agraria yang selama ini timbul. Konflik agraria juga dapat terjadi dalam proses pelaksanaan Reformasi Agraria apabila prasyarat pendukungnya tidak disiapkan secara matang.
Dari berbagai literatur dan pengalaman, dapat disimpulkan bahwa prasyarat utama tersebut yaitu; pertama, kemauan dan dukungan politik yang kuat dari pemerintah. Kedua, data agraria yang akurat. Ketiga, serta organisasi tani yang kuat serta terpisahnya elit bisnis dan elit politik dalam menjalankan Reformasi Agraria.
Dengan melihat prasyarat ini maka peran Negara sangat penting bahkan tidak tergantikan, sementara pelaksanaan Reformasi Agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat maka tujuan-tujuan dari Reformasi Agraria tidak akan tercapai dan bahkan mengalami kegagalan.
Beragam persoalan di atas menunjukkan, masalah agraria bukanlah persoalan teknis belaka, melainkan persoalan struktural yang akarnya pada ketimpangan sosial. Jadi, modal terpenting untuk menyelesaikannya adalah komitmen politik yang kuat.(red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar